Jumat, 17 April 2009

SOLO KOTA BUDAYA BUKAN SEBUAH METAMORFOSIS

SOLO KOTA BUDAYA BUKAN SEBUAH METAMORFOSIS
Oleh: R U M O N G S O
JOGLO SEMAR,1 JULI 2008

Pada masa Orde Baru semua kabupaten dan kota di seluruh Indonesia berlomba-lomba membuat semboyan yang bertujuan untuk meraih predikat sebagai kota terbersih dengan penghargaan berupa Piala Adipura.Penghargaan ini diperoleh dengan berbagai macam upaya yang cenderung manipulatif karena peran serta masyarakat diabaikan.Penguasa daerah mempunyai harapan bahwa apabila berhasil meraih penghargaan Adipura maka kariernya akan melesat naik.
Ada yang rancu dalam hal ini.Karena dengan menafikan peran serta masyarakat sejatinya masyarakat tidak merasa memiliki kota,mereka menjadi terpinggirkan,akibatnya mereka menjadi apatis.Piala Adipura yang diraih kemudian dibuatkan tugu di pintu masuk ke kota.Maka yang tampak bukan rasa bangga dari masyarakat tetapi arogansi penguasa terhadap rakyatnya.Terjadi proses reifikasi atau penumpulan daya kritis masyarakat.Tidak ada interaksi antara pemerintah dengan rakyatnya.Yang ada hanyalah pamer kekuasaan.
Begitu juga dengan kota Solo yang memiliki semboyan Solo Berseri.Apa sejatinya semboyan itu?.Tidak ada makna yang lebih mendalam selain sekedar ungkapan atau semboyan belaka.Ketika keadaan berubah ada keinginan untuk menampilkan identitas diri yang mengacu pada potensi yang ada dalam diri kota Solo.Mula-mula dalam kampanye pemilihan langsung walikota semboyan yang dipakai adalah Berseri Tanpa Korupsi.Semboyan ini cenderung lebih bersifat politis karena bertujuan untuk menarik pemilih.Disusul Solo Future is Solo Past.Tapi gemanya tidak tampak.Sekarang menjadi Solo Kota Budaya.Sangat sederhana,simple dan langsung ke sasaran.
Identitas itu mulai digemakan sejak Walikota Ir.Joko Widodo tampil menjadi walikota Solo.Semboyan itu adalah Solo Kota Budaya.Apa yang menarik dari semboyan Solo Kota Budaya?.Esensi yang terkandung di dalam semboyan itulah yang menarik.Budaya atau kebudayan adalah totalitas eksperimentasi pengalaman kehidupan suatu bangsa.Totalitas tersebut menemukan hasil/resultannya berupa kebudayaan,yang merupakan intisari dari olah fikir sebuah bangsa.Kebudayaan adalah proses panjang.Ketika sebuah kota melabeli diri menjadi Kota Budaya sebagaimana kota Solo sejatinya kota tersebut yang direprentasikan lewat kebijakan pemimpinnya telah menemukan jati dirinya.Pemilihan menjadi kota budaya menjadikan kota Solo menemukan hakekat yang selama ini hilang yaitu identitas kultural yang tidak dimiliki oleh kota lain,yaitu keunggulan budaya.Keunggulan itulah yang harus dieksplorasi agar masyarakat merasa dituntun menuju ke arah pencerahan ( enlightment ),yang akan menghasilkan pemberdayaan (enpowerment).
Muara dari itu semua adalah masyarakat Kota Solo menemukan kembali (re inventing) jati dirinya.Hasil akhir dari semua proses tersebut adalah kebudayaan yang utuh,meliputi seluruh tata nilai,pola fikir dan tingkah laku masyarakat.
Kota Solo memilih label sebagai Kota Budaya,pada hakekatnya label dan ciri tersebut adalah penanda yang sifatnya non fisik.Penanda non fisik adalah penanda bersifat kultural.Harapannya adalah masyarakat kota Solo dapat menjadi ujung tombak perilaku berbudaya (Jawa ) yang mengedepankan sikap lembah manah,ambeg parama arta dan lain-lain.
Semboyan Solo Kota Budaya membawa konsekwensi kepada semua elemen masyarakat kota Solo.Konsekwensi itu adalah rasa untuk ikut mendukung semboyan itu yang dimanifestasikan berupa totalitas rakyat Solo.Ini menjadi tantangan yang paling besar karena tipologi masyarakat Solo yang terdidik dan memiliki sikap kritis bahkan pembangkangan,apabila semboyan Solo Kota Budaya tidak menyentuh kehidupan masyarakat banyak dan hanya menjadi komoditas elit kota.
Mengapa harus Solo Kota Budaya?
Menjadikan Kota Solo sebagai Kota Budaya bukan semata-mata karena persentuhan dengan kehadiran kehidupan keraton yang masih tetap eksis.Posisi keraton dalam wacana Solo Kota Budaya adalah sebagai spirit dan penanda bagi masyarakat kota Solo dalam berinteraksi dengan masyarakat daerah lain.Solo Kota Budaya juga bukan merupakan proses metamorfosis sebuah kota.Karena sejatinya inti dari kota Solo adalah kebudayaan itu sendiri.Kebudayaanlah yang membentuk kota Solo,bukan kota Solo yang membentuk kebudayaan.Kebudayaan yang meliputi dan bersinggungan dengan semua aspek kehidupan,misalnya sikap santun dalam tata pergaulan,dan tata kehidupan baik yang sakral mulai dari ritual menyambut kelahiran hingga ritual melepas sebuah kematian sampai yang profan berupa budaya abangan yang tidak dijumpai di daerah lain.
Menjadikan Solo Kota Budaya memberikan sudut pandang lain dari kota Solo yang sudah terlebih dahulu menjadi kota perdagangan dan jasa dari kaca mata ekonomi.Masyarakat yang sudah terasah dan memiliki kepekaan dalam segi kebudayaan,menjadikan pemerintah kota tinggal memoles semua potensi itu menjadi sebuah keunggulan lokal/local genius.Sebagai contoh tentang penggunaan huruf Jawa dalam penulisan nama instansi pemerintah,swasta dan lembaga pendidikan.Langkah ini meskipun banyak menuai kritik adalah langkah berani.
Negara China,Thailand,Jepang,India,Rusia,Arab sudah lebih dahulu menggunakan huruf lokal berdampingan dengan huruf Latin,mengapa kita tidak memperkenalkan huruf Jawa kepada khalayak banyak?.Mereka yang memiliki pandangan berbeda mungkin tidak bercermin,bahwa kita memiliki keunggulan yang pantas untuk dibanggakan.Tidak ada hal yang tampak berlebihan dari program penulisan aksara Jawa di kantor-kantor.Permasalahn terbesar adalah ternyata sekarang ini banyak masyarakat kota Solo dari semua lapisan usia yang belum melek aksara Jawa.Maka tidak mengherankan apabila masih terjadi bongkar pasang papan nama gara-gara kesalahan penulisan ejaan.Wajar saja karena semua masih dalam tahap pembelajaran.Proses trial and eror tidak bisa dielakkan.
Hal yang bisa dijual.
Jika pemerintah kota Surakarta berani mengambil semboyan Solo Kota Budaya,timbullah pertanyaan dalam benak masyarakat kota Solo.Apa sejatinya yang bisa ditunjukkan kepada dunia luar dari kota ini?.Tidak terlalu sulit untuk menjawabnya.Di kota Solo sangat banyak atraksi yang bisa ditampuilkan.Mulai dari aspek budaya,sejarah dan wisata kuliner.Semuanya tinggal digarap dengan professional agar tidak timbul kesan asal-asalan tanpa perencanaan yang matang.Pembangunan Kampoeng Batik Laweyan dapat dijadikan pintu masuk untuk menapaki setiap relung kota.Kampung yang penuh dengan bangunan tembok tinggi menarik minat orang untuk lebih mengenal.Juga sejarah panjang tentang juragan batik yang umumnya dipegang oleh kaum perempuan.Aspek histories dari wisata Kampoeng Batik Laweyan tidak dimiliki oleh daerah penghasil batik di daerah lain,misalnya dari Pekalongan,Yogyakarta,Lasem atau Madura.
Pembangunan City Walk di sepanjang jalan Selamet Riyadi yang akan dijadikan pusat jajan malam hari juiga sangat mungkin untuk menjadi atraksi kolosal.Ketika daerah atau kota lain tidak memiliki ruang publik yang luas dan bebas dari pedagang kaki lima,keunggulan city walk menjadi keniscayaan.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa jalan Slamet Riyadi akan menjadi Orchard Road-nya kota Solo.Skeptisme publik memang menghantui setiap kebijakan karena dikawatirkan dapat meminggirkan kalangan bawah.Tetapi pemerintah kota Surakarta dapat mengatasi skeptisme menilik sikap pemerintah kota yang tidak memarjinalkan kamu bawah.Sebagai contoh adalah penanganan pedagang kaki lima.
Event terakhir yaitu Solo Batik Carnival suatu saat akan bisa mendunia jika dikemas dengan matang.Kita semua berharap bahwa SBC menjadi kalender tetap bagi kota Surakarta sebagai sarana promosi kepariwisataan.Langkah paling baik adalah melibatkan semua masyarakat kota Solo yang memiliki kepekaan artistik karena Solo Batik Carnival pada hakekatnya adalah karnaval kesenian yang dikemas dalam kebudayaan bernama batik.Ini untuk menambah pesona yang selama ini sudah ada berupa wisata budaya di keraton.
Kita memang patut prihatin karena ditengah promosi Solo Kota Budaya ada objek wisata sejarah Benteng Vandenburg yang akan didirikan hotel berbintang diatasnya.Bahwa ternyata pemodal lebih berkuasa.Sehingga bangunan warisan budaya dapat dengan mudah beralih fungsi menjadi bangunan komersial.
Tantangan besar ke depan.
Budaya suatu bangsa adalah sebuah produk.Ia akan menghadapi pasang surut pemakainya.Ia juga berhadapan dan bertanding dengan budaya bangsa lain.Dalam era tehnologi yang semakin berkembang dan menjadi maju terjadi proses penyaringan dan penyerapan budaya baru yang lebih popular,kolosal yang dicitrakan oleh media.Apa langkah yang harus kita ambil?.Kita tidak bisa menutup mata terhadap masuknya budaya asing,apalagi membendung masuknya budaya itu.Yang dapat kita lakukan adalah memberikan filter agar budaya kota Solo tidak terpinggirkan dan tergerus oleh budaya asing.Filter itu berupa menumbuhkan kebanggaan berbudaya kepada generasi muda sebagai konsumen budaya popular.
Jika kita mengabaikan mereka,maka identitas kultural kita semakin lama semakin hilang.Seberapa banyak generasi muda kita yang menyukai kesenian wayang kulit,ketoprak dan wayang orang?.
Seberapa banyak generasi muda kita yang dapat menyanyikan gending mocopat?.Sangat sedikit,kalau tidak boleh dikatakan tidak ada.Sebabnya adalah tidak adanya langkah yang tepat dalam merangkul kaum muda.Mereka justru dipinggirkan dari kebudayaanya.Hal ini sangat merisaukan,Karena merekalah pewaris sejati dari kebudayaan tradisional itu.
Seberapa banyak event budaya yang digelar di kota Solo yang bertujuan menarik kaum muda mencintai dan kembali ke akar tradisi?.Sangat jarang.Kalau ada berlangsung di kalangan yang sangat terbatas.Lokasinyapun sangat jauh dari keterjangkauan khalayak ramai.Sebagai contoh Taman Budaya Jawa Tengah yang lokasinya sangat jauh dari pusat kota dan pusat konsentrasi masa.Taman Sriwedari juga sudah tidak menarik lagi.Kumuh dan kusam.Tidak mencerminkan sebuah balai budaya.Orang yang skeptis menyebutnya sebagai rumah kere.Padahal pada masa lalu penghuni Taman Sriwedari yang merupakan situs budaya sangat bangga akan keberadaannya sebagai rumah seniman.
Sementara pentas musik popular yang menghadirkan grup band hamper tiap minggu berlangsung di kota Solo dengan penuh gemerlap dan ekspos besar dari media.Karena ada sponsor yang masuk.Mengapa hal itu tidak terjadi pada pentas seni tradisional?.Jawabnya adalah aspek komersial dan umpan balik berupa nilai tambah tidak ada.Tidak ada promosi yang meletu-letup.Tapi pentas kesenian hanya promosi dari mulut ke mulut.Sangat ironis memang.
Pasang surut kebudayaan dari yang tradisional/kuno hingga yang kontemporer memang bisa terjadi dan melanda negara manapun.Dan tidak hanya kita di Indonesia saja yang kuwatir akan kelangsungan sebuah budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar