Senin, 27 April 2009

Corruptio Ergo Sum

Solopos,17 Maret 2009
Descrates bilang,”Coginto ergo sum”.Aku berfikir maka aku ada.Perkatan Descrates sengaja diplesetkan menjadi”Coruptio ergo sum”. Aku korupsi,maka aku ada.Mohon maaf kepada Descrates.Petuah Desdrates yang diplesetkan itulah yang digunakan oleh para anggota DPR.Secara tidak langsung rakyat diuntungkan.Aku korupsi maka aku ada.Rakyat mengenal aku.Kalau aku tidak korupsi,maka aku tak ada dan rakyat tak mengenal aku.
Hampir seluruh rakyat Indonesia tidak akan mengenal wakil mereka,jika anggota DPR tidak tersangkut perkara korupsi.Karena mereka ada yang tertangkap tangan menerima suap,mata rakyat terbelalak.Lalu mereka mengenal nama wakilnya saat menjadi pesakitan.Maka wahai anggota DPR,korupsilah agar kalian dikenal rakyat yang kalian wakili!.
Dalam disertasi Doktor di UGM,anggota DPR Idrus Marham membuat analisa bahwa hanya 10 % anggota DPR yang memiliki kompetensi,kapabilitas dan kredibilitas layaknya seorang politisi.Artinya ada 90% anggota yang tidak memiliki kompetensi ,kapabilitas dan kredibilitas.
Yang 90 % itu hanya memiliki jiwa bromocorah,makelar anggaran,calo jabatan publik ,pemalas,tukang selingkuh dan manipulator ulung.Mereka juga memiliki sifat angkuh,tidak memiliki etika.Betul kata Gus Dur bahwa DPR sama dengan anak TK.Artinya mereka belum memiliki sikap dan akal sempurna layaknya orang dewasa.Jadi jangan salahkan rakyat jika mereka bilang anggota DPR tidak bisa membedakan antara satpam dengan seorang profesional dengan reputasi segudang.Karena daya nalarnya belum sampai.
Produk yang dihasilkan dari lembaga tanpa yang kompetensi,kapabilitas dan kredibilitas menjadi bahan tertawaan dan penolakan publik.Banyaknya uji materi UU di Mahkamah Konstitusi dan ditolak rakyat mengindikasikan bahwa out put DPR jauh dari harapan rakyat banyak.Mereka membuat UU bergantung dari sudut pandang kepentingan pribadi,partai dan kelompoknya.
Jika aneka sorotan negatif itu keluar dari rakyat yang diwakili,karena publik sendiri sudah muak dengan sepak terjang anggota DPR yang 90% tadi.Foto ruangan sidang yang kosong,anggota DPR yang sibuk baca koran,main telpon/sms,nitip absen sidang semakin menambah rasa geregetan rakyat.
Rasa malu menjadi barang langka di gedung dewan.Partai politik juga menjadi rumah besar para koruptor.Karena banyak partai politik yang justru melindungi anggotanya yang terlibat korupsi dengan dalih azas praduga tak bersalah/presumtion of inoncence.
Sepak terjang nggota DPR yang mendapat predikat “Yang Terhormat” semenjak zaman Orde Baru hingga Orde Reformasi selalu menjadi sorotan negatif rakyat yang diwakilinya.Rakyat sangat sulit menemukan sisi positif anggota DPR kita.Maka sampai kapanpun rakyat akan tetap mereka ibarat begudal dengan bungkus politisi.
Pada zaman Orba,DPR mendapat predikat sebagai tukang stempel pemerintah.Hal ini mengacu pada karakter angota DPR yang hampir selalu bisa dipastikan akan memberikan persetujuan kepada setiap kebijakan pemerintah.RAPBN diketok oleh DPR tanpa ada satupun angka rupiah yang berubah.Ibarat koor setuju.
Ada juga stempel negatif bahwa anggota DPR Cuma bisa 4 D yaitu datang,duduk,dengar,duit.Pada era Reformasi istilah 4 D diganti dengan DTTP,datang tanda tangan,tidur,pergi.Sampai ada anekdot bahwa penyebab bubarnya grup lawak Srimulat karena kalah lucu dengan anggota DPR yang berkantor persis di samping gedung Srimulat.Juga mengenai diusirnya para penjual kaca cemin di depan gedung DPR karena mereka malas bercermin diri,untuk melihat tengkuk (baca:aib) sendiri, cuma melihat tengkuk orang lain.
Semua berita negatif itu tidak membuat DPR alergi.Pada zaman Reformasi,ketika kekuasaan DPR sangat besar,DPR seolah mendapat angin.Adagium kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah,marak digedung DPR.Semua hal remeh temeh dipermasalahkan,sementara hal-hal krusial dan memiliki subtansi tinggi bagi kepentingan publik di kesampingkan.
Etos pedagang.
Survey Transparansi Internasional Indonesia menempatkan DPR sebagai lembaga paling korup bersama dengan lembaga kepolisian,partai politik dan pengadilan.Indeks persepsi masyarakat itu langsung dibantah rame-rame oleh yang bersangkutan.Bantahan demi bantahan yang keluar dari mulut semakin menguatkan dugaan dan persepsi publik tentang korupnya mereka.Semakin kuat penolakan dari dalam DPR semakin kuat pula persepsi khalayak banyak.Tak ada api tak ada asap.
Di Indonesia ini investasi untuk menjadi wakil rakyat sangat besar.Kampanye visi dan misi calon anggota dewan tidak akan dapat menarik minat pemilih jika tanpa ada gizi yang menyertai.Akibatnya mereka mengeluarkan uang untuk mendapat suara rakyat.Ibarat dagang mareka harus balik modal yang sudah diinvestasikan.Jadi rakyat juga punya andil melahirkan mental korup anggota DPR.
Logika dagang inilah yang mendorong meraka melakukan apa saja,termasuk melakukan korupsi dan menerima suap agar modal kembali.Syukur-syukur dapat untung..Akibatnya bagi DPR suara rakyat bukan suara Tuhan.”Voc populi voc Dei” yang harus didengar.Bagi anggota DPR,suara rakyat,suara setan.Karena sudah terbeli.
Tingkat pendapatan anggota DPR RI sangat tinggi dibandingkan dengan rata-rata pendapatan orang Indonesia.Sekitar 60 juta yang mereka bisa bawa pulang.Bandingkanlah dengan gaji seorang guru besar berkepala botak dengan masa kerja 35 tahun hanya mendapatkan gaji sebesar 4-5 juta/bulan.Seorang prajurit TNI/Polri dan PNS harus menunggu 25 tahun agar dapat hidup layak.Itupun setelah mengikuti aneka tugas,pendidikan,dan mutasi yang sangat berat.
Mengapa harus korupsi jika mereka sangat hidup dengan sejahtera?.Semua berpulang pada sikap dan mental,serta gaya hidup mereka.Mereka makan siang dari hotel ke hotel.Mobil juga harus yang built up luar negeri.Beli baju dari butik terkenal.Sepatu juga buatan luar negeri.Bahkan ada seorang angota DPR yang memakai setelan jas merk Brioni seharga Rp 40.000.000,-.Setara dengan harga satu rumah rakyat yang diwakilinya.Inilah yang membuat mereka lupa daratan.Ujung-ujungnya korupsi,menjadi makelar proyek yang dibiayai APBN dan menjadi calo jabatan di BUMN.
Skeptisme rakyat atas perbaikan kinerja dan mentalitas DPR akan berpengaruh semakin banyaknya angka golongan putih pada pemilu.Publik percaya jika memeka ikut pemilu,maka suara yang mereka berikan akan memilih calon koruptor di lembaga legislatif.
Perlawanan itu timbul karena ketidakpercayaan rakyat kepada wakilnya.Pemilu tidak membawa perubahan langsung atas kehidupan mereka.Rasa bosan karena dalam tahun berjalan selalu ada pemilihan umum baik untuk memilih bupati/walikota,gubernur,DPR dan puncaknya pada pemilihan presiden.Dari semua kegiatan pemilihan itu pemenangnya adalah golongan putih.
Kembali soal banyaknya politisi Senayan yang ditangkap KPK,publik disadarkan tentang mentalitas busuk politisi kita. Menjadi politisi bukan dianggap sebagai wahana ber-khidmad untuk bangsa dan negara,melainkan sebagai sarana untuk mengeruk keuntungan pribadi dengan mengatas namakan rakyat.
Jika dinegara lain menjadi kaya dahulu,lalu beralih profesi menjadi seorang politisi,maka di Indonesia yang terjadi kebalikannya.Menjadi politisi dahulu,lalu menjadi kaya.Karena saat menjadi politisi itulah mereka mendapatkan privelage,antara lain kemudahan akan akses modal dan kekuasaan
Politisi Indonesia membangun jejaring/network dalam rangka mendapatkan modal.Idealnya jaringan itu digunakan untuk memperkuat basis massa yang bersangkutan.Anggota DPR di Indonesia justru melupakan basis massa pendukung saat kursi kekuasaan sudah diraih.Mereka baru ingat dengan konstituennya saat menjelang pemilihan umum. Rakyat muak.
Dalam berbagai kesempatan,para pakar membuat analisa bahwa ada kesalahan dalam proses rekrutmenanggota DPR.Mereka bukan berasal dari para kader loyal dan militan sebuah partai.Tetapi para pemodal yang berinvestasi di bidang politik.Rakyat sangat sulit menemukan rekam jejak mereka.Yang rakyat tahu para pemodal sudah berada dan mendekat disekeliling tokoh partai.Pendek kata,kolusi!.Andai ada pola pengkaderan yang jelas,maka tak akan ada politisi abal-abal,kutu loncat .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar