Senin, 04 Mei 2009

Pindah alamat

Saya mohon maaf.
Karena sesuatu hal,maka alamat saya pindah ke:
http://pakrumongso.blogspot.com/
Ayo buruan masuk ke blogg saya.

Kamis, 30 April 2009

Blogger Nekat

Pak Rumongso atau anak-anak memanggil dengan sebutan Pak Rum.Blogger nekat.Mengapa?.Menjadi blogger dengan modal dengkul.Komputer sekolah dipinjam.Mau beli laptop hanya mimpi.Cuma guru SD swasta.Lewat blog ini saya membuka diri kepada fihak yang berkenan menghibahkan komputer atau laptop meski sudah kuno sekali.HIDUP BLOGGER INDONESIA.HIDUP GURU!.

Senin, 27 April 2009

Corruptio Ergo Sum

Solopos,17 Maret 2009
Descrates bilang,”Coginto ergo sum”.Aku berfikir maka aku ada.Perkatan Descrates sengaja diplesetkan menjadi”Coruptio ergo sum”. Aku korupsi,maka aku ada.Mohon maaf kepada Descrates.Petuah Desdrates yang diplesetkan itulah yang digunakan oleh para anggota DPR.Secara tidak langsung rakyat diuntungkan.Aku korupsi maka aku ada.Rakyat mengenal aku.Kalau aku tidak korupsi,maka aku tak ada dan rakyat tak mengenal aku.
Hampir seluruh rakyat Indonesia tidak akan mengenal wakil mereka,jika anggota DPR tidak tersangkut perkara korupsi.Karena mereka ada yang tertangkap tangan menerima suap,mata rakyat terbelalak.Lalu mereka mengenal nama wakilnya saat menjadi pesakitan.Maka wahai anggota DPR,korupsilah agar kalian dikenal rakyat yang kalian wakili!.
Dalam disertasi Doktor di UGM,anggota DPR Idrus Marham membuat analisa bahwa hanya 10 % anggota DPR yang memiliki kompetensi,kapabilitas dan kredibilitas layaknya seorang politisi.Artinya ada 90% anggota yang tidak memiliki kompetensi ,kapabilitas dan kredibilitas.
Yang 90 % itu hanya memiliki jiwa bromocorah,makelar anggaran,calo jabatan publik ,pemalas,tukang selingkuh dan manipulator ulung.Mereka juga memiliki sifat angkuh,tidak memiliki etika.Betul kata Gus Dur bahwa DPR sama dengan anak TK.Artinya mereka belum memiliki sikap dan akal sempurna layaknya orang dewasa.Jadi jangan salahkan rakyat jika mereka bilang anggota DPR tidak bisa membedakan antara satpam dengan seorang profesional dengan reputasi segudang.Karena daya nalarnya belum sampai.
Produk yang dihasilkan dari lembaga tanpa yang kompetensi,kapabilitas dan kredibilitas menjadi bahan tertawaan dan penolakan publik.Banyaknya uji materi UU di Mahkamah Konstitusi dan ditolak rakyat mengindikasikan bahwa out put DPR jauh dari harapan rakyat banyak.Mereka membuat UU bergantung dari sudut pandang kepentingan pribadi,partai dan kelompoknya.
Jika aneka sorotan negatif itu keluar dari rakyat yang diwakili,karena publik sendiri sudah muak dengan sepak terjang anggota DPR yang 90% tadi.Foto ruangan sidang yang kosong,anggota DPR yang sibuk baca koran,main telpon/sms,nitip absen sidang semakin menambah rasa geregetan rakyat.
Rasa malu menjadi barang langka di gedung dewan.Partai politik juga menjadi rumah besar para koruptor.Karena banyak partai politik yang justru melindungi anggotanya yang terlibat korupsi dengan dalih azas praduga tak bersalah/presumtion of inoncence.
Sepak terjang nggota DPR yang mendapat predikat “Yang Terhormat” semenjak zaman Orde Baru hingga Orde Reformasi selalu menjadi sorotan negatif rakyat yang diwakilinya.Rakyat sangat sulit menemukan sisi positif anggota DPR kita.Maka sampai kapanpun rakyat akan tetap mereka ibarat begudal dengan bungkus politisi.
Pada zaman Orba,DPR mendapat predikat sebagai tukang stempel pemerintah.Hal ini mengacu pada karakter angota DPR yang hampir selalu bisa dipastikan akan memberikan persetujuan kepada setiap kebijakan pemerintah.RAPBN diketok oleh DPR tanpa ada satupun angka rupiah yang berubah.Ibarat koor setuju.
Ada juga stempel negatif bahwa anggota DPR Cuma bisa 4 D yaitu datang,duduk,dengar,duit.Pada era Reformasi istilah 4 D diganti dengan DTTP,datang tanda tangan,tidur,pergi.Sampai ada anekdot bahwa penyebab bubarnya grup lawak Srimulat karena kalah lucu dengan anggota DPR yang berkantor persis di samping gedung Srimulat.Juga mengenai diusirnya para penjual kaca cemin di depan gedung DPR karena mereka malas bercermin diri,untuk melihat tengkuk (baca:aib) sendiri, cuma melihat tengkuk orang lain.
Semua berita negatif itu tidak membuat DPR alergi.Pada zaman Reformasi,ketika kekuasaan DPR sangat besar,DPR seolah mendapat angin.Adagium kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah,marak digedung DPR.Semua hal remeh temeh dipermasalahkan,sementara hal-hal krusial dan memiliki subtansi tinggi bagi kepentingan publik di kesampingkan.
Etos pedagang.
Survey Transparansi Internasional Indonesia menempatkan DPR sebagai lembaga paling korup bersama dengan lembaga kepolisian,partai politik dan pengadilan.Indeks persepsi masyarakat itu langsung dibantah rame-rame oleh yang bersangkutan.Bantahan demi bantahan yang keluar dari mulut semakin menguatkan dugaan dan persepsi publik tentang korupnya mereka.Semakin kuat penolakan dari dalam DPR semakin kuat pula persepsi khalayak banyak.Tak ada api tak ada asap.
Di Indonesia ini investasi untuk menjadi wakil rakyat sangat besar.Kampanye visi dan misi calon anggota dewan tidak akan dapat menarik minat pemilih jika tanpa ada gizi yang menyertai.Akibatnya mereka mengeluarkan uang untuk mendapat suara rakyat.Ibarat dagang mareka harus balik modal yang sudah diinvestasikan.Jadi rakyat juga punya andil melahirkan mental korup anggota DPR.
Logika dagang inilah yang mendorong meraka melakukan apa saja,termasuk melakukan korupsi dan menerima suap agar modal kembali.Syukur-syukur dapat untung..Akibatnya bagi DPR suara rakyat bukan suara Tuhan.”Voc populi voc Dei” yang harus didengar.Bagi anggota DPR,suara rakyat,suara setan.Karena sudah terbeli.
Tingkat pendapatan anggota DPR RI sangat tinggi dibandingkan dengan rata-rata pendapatan orang Indonesia.Sekitar 60 juta yang mereka bisa bawa pulang.Bandingkanlah dengan gaji seorang guru besar berkepala botak dengan masa kerja 35 tahun hanya mendapatkan gaji sebesar 4-5 juta/bulan.Seorang prajurit TNI/Polri dan PNS harus menunggu 25 tahun agar dapat hidup layak.Itupun setelah mengikuti aneka tugas,pendidikan,dan mutasi yang sangat berat.
Mengapa harus korupsi jika mereka sangat hidup dengan sejahtera?.Semua berpulang pada sikap dan mental,serta gaya hidup mereka.Mereka makan siang dari hotel ke hotel.Mobil juga harus yang built up luar negeri.Beli baju dari butik terkenal.Sepatu juga buatan luar negeri.Bahkan ada seorang angota DPR yang memakai setelan jas merk Brioni seharga Rp 40.000.000,-.Setara dengan harga satu rumah rakyat yang diwakilinya.Inilah yang membuat mereka lupa daratan.Ujung-ujungnya korupsi,menjadi makelar proyek yang dibiayai APBN dan menjadi calo jabatan di BUMN.
Skeptisme rakyat atas perbaikan kinerja dan mentalitas DPR akan berpengaruh semakin banyaknya angka golongan putih pada pemilu.Publik percaya jika memeka ikut pemilu,maka suara yang mereka berikan akan memilih calon koruptor di lembaga legislatif.
Perlawanan itu timbul karena ketidakpercayaan rakyat kepada wakilnya.Pemilu tidak membawa perubahan langsung atas kehidupan mereka.Rasa bosan karena dalam tahun berjalan selalu ada pemilihan umum baik untuk memilih bupati/walikota,gubernur,DPR dan puncaknya pada pemilihan presiden.Dari semua kegiatan pemilihan itu pemenangnya adalah golongan putih.
Kembali soal banyaknya politisi Senayan yang ditangkap KPK,publik disadarkan tentang mentalitas busuk politisi kita. Menjadi politisi bukan dianggap sebagai wahana ber-khidmad untuk bangsa dan negara,melainkan sebagai sarana untuk mengeruk keuntungan pribadi dengan mengatas namakan rakyat.
Jika dinegara lain menjadi kaya dahulu,lalu beralih profesi menjadi seorang politisi,maka di Indonesia yang terjadi kebalikannya.Menjadi politisi dahulu,lalu menjadi kaya.Karena saat menjadi politisi itulah mereka mendapatkan privelage,antara lain kemudahan akan akses modal dan kekuasaan
Politisi Indonesia membangun jejaring/network dalam rangka mendapatkan modal.Idealnya jaringan itu digunakan untuk memperkuat basis massa yang bersangkutan.Anggota DPR di Indonesia justru melupakan basis massa pendukung saat kursi kekuasaan sudah diraih.Mereka baru ingat dengan konstituennya saat menjelang pemilihan umum. Rakyat muak.
Dalam berbagai kesempatan,para pakar membuat analisa bahwa ada kesalahan dalam proses rekrutmenanggota DPR.Mereka bukan berasal dari para kader loyal dan militan sebuah partai.Tetapi para pemodal yang berinvestasi di bidang politik.Rakyat sangat sulit menemukan rekam jejak mereka.Yang rakyat tahu para pemodal sudah berada dan mendekat disekeliling tokoh partai.Pendek kata,kolusi!.Andai ada pola pengkaderan yang jelas,maka tak akan ada politisi abal-abal,kutu loncat .

Jumat, 17 April 2009

Untuk Siapakah Anggaran Pendidikan itu?.

Untuk Siapakah Anggaran Pendidikan itu?.
Oleh: Rumongso
Kenaikan anggaran sektor pendidikan yang sudah 20% sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 memang patut disyukuri oleh semua kalangan pendidikan.Namun andai semua itu diibaratkan sebuah pesta besar,maka yang menikmati pesta besar itu hanyalah guru-guru negeri.Pemerintah akan menaikan gaji guru minimum 2 juta rupiah per bulan,tetapi hanya bagi guru-guru negeri.Pemerintah akan memberikan tunjangan Rp 500.000,-/bulan bagi guru yang masih berpendidikan SPG dan tunjangan sebesar Rp 100.000,0/bulan bagi yang sudah sarjana.Tetapi mohon maaf,guru swasta tidak ada dalam daftar penerima tunjangan tersebut.Guru swasta hanyalah jadi penonton di luar lapangan.Guru swasta bukan lagi terpinggirkan atau termarjinalkan,tetapi sudah terbuang jauh dari arena permaianan dan luput dari perhatian pemerintah.Sungguh tragis dan menyesakkan,karena yang meminggirkan dan yang melempar guru swasta adalah Negara yang selama ini dibantu tugasnya dalam rangka mencerdaskan bangsa.
Apakah alasan pemerintah yang meminggirkan guru swasta sehingga luput dari perhatiannya?.Apakah yang kurang dari guru-guru swasta?.Apakah yang beda antara guru swasta dengan guru negeri?.Diskriminasi itu akan terus berlangsung karena pemerintah sedari awal memang sudah menganak tirikan sesuatu yang berbau swasta.Kalau guru swasta mengiba terus rasanya juga tidak tepat.Jika diam terus juga tidak pas.Air mata guru swasta sudah habis buat mengiba meminta perhatian.Energi guru swasta sudah habis untuk memprotes.Dan kesabaran guru swasta sudah sirna karena dipakai untuk melandasi kehidupan yang masih jauh dari layak.
Mengapa pemerintah bersikap diskriminatif terhadap guru swasta?.Payung hukum berupa Undang-Undang Guru dan Dosen jika betul-betul diterapkan pastilah sikap diskriminatif itu tidak terjadi.Sikap itu ada karena Undang-Undang tidak di implementasikan di lapangan. UU Guru dan Dosen tidak dijadikan kerangka acuan dalam pengambilan kebijakan terkait dengan perbaikan nasib guru yang merupakan esensi dari isi undang-undang tersebut.
Untuk siapakah sebenarnya kenaikan anggaran pendidikan yang naik itu?.Apakah hanya untuk sekolah negeri?.Apakah hanya untuk meningkatkan kesejahteraan gruru-guru negeri?.Siapakah yang menikmati kenaikan itu?.Apakah khusus anak-anak sekolah negeri saja.Pertanyaan itu keluar karena dalam UUD tidak secara eksplisit menjelaskan peruntukan angaran pendidikan 20%.Juga dalam pidato pengantar nota RPABN di depan siding paripurna DPR,presiden juga tidak menyinggung apakah anggaran pendidikan itu untuk sekolah negeri atau untuk semua?.
Guru dan sekolah swasta sebagai bagian integral dari jagad pendidikan nasional semestinya memperoleh perlakuan yang sama dengan guru dan sekolah negeri.Keberadaannya tidak bisa dikesampingkan oleh negara.Ia harus dipandang sebagai bagian dari sistem yang ikut menentukan maju mundurnya pendidikan kita.Pengabaian nasib guru dan sekolah swasta oleh negara sama artinya dengan menafikan keberadaan fungsi yang selama ini diemban oleh mereka. Ketika negara gagal memenuhi tanggung jawabnya dalam memberikan pendidikan dan pengajaran sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945,maka swasta ikut andil mengambil tanggung awab negara dalam pemenuhan atas akses pendidikan,lalu perannya diingkari oleh negara,maka apa jadinya negara ini?.Diskriminasi itu hanya akan berbuah rasa ketidakadilan yang tiada habis.
Dalam pasal 27 UU No.2 Tahun 89 tentang Sistem Pendidikan Nasional,negara jelas-jelas memangil masyarakat untuk berpartisipasi dalam bidang pendidikan.Logikanya,jika ada panggilan negara lalu diajak berpartisipasi lantas di abaikan,maka pertanyaan yang timbl adalah dimana letak tanggung jawab negara?.
Ketika perhatian pemerintah hanya tertumpu pada sekolah dan guru negeri,maka telah terjadi pendikotomian hakekat fungsi dan tangung jawab antara negeri dan swasta.Padahal semertinya pemerintah harus berada dalam garda paling depan untuk menghapuskan dikotomi pendidikan swasta dengan negeri.Lalu menghilangkan sikap ambievalen dalam hal-hal yang menyangkut kebijakan pendidikan.

Mengurai akar kekerasan guru terhadap murid

Mengurai akar kekerasan guru terhadap murid
Oleh : Rumongso
Sebenarnya bukan hal yang baru dalam dunia pendidikan seorang guru memberikan sanksi/hukuman tegas yang oleh sementara kalangan sebagai bentuk kekerasan terhadap anak.Pada zaman dahulu,atas nama disiplin,seorang guru sering memberikan sanksi kepada anak adalah hal biasa.Guru pada zaman itu tak segan untuk menempeleng,menendang,memukul dengan gagang sapu,memukul jari tangan anak yang kukunya panjang,menjewer anak yang rambutnya gondrong,atau mencubit anak yang baju seragamya tidak rapi.Bahkan ada yang dihukum dengan membersihkan WC.Bagaimanapun beratnya sanksi itu,tak ada orang tua atau aktifis yang protes.Ada kesadaran tersembunyi dari semua elemen pendidikan yang memandang semua itu sebagai bentuk tanggung jawab guru dalam mendidik anaknya.
Jika sekarang ini,ketika media massa secara massif memberitakan apa saja kejadian di masyarakat,termasuk dalam lingkup sekolah,maka gemanya menjadi kuat.Mereka yang merasa diri sebagai aktifis hak-hak dan perlindungan anak sibuk berkomentar sana-sini.Tetapi subtansi dasar dari permasalahan tersebut tidak pernah disinggung oleh mereka.Permasalahan mengapa sampai anak membuat jengkel guru,memancing emosi guru tidak dibahas.Yang mereka bicarakan adalah mengapa guru bertindak kasar kepada anak.Mereka semuanya omong kosong.Tulisan ini tidak bermaksud memberikan pembelaan,atau berapologi kepada rekan guru yang bertindak keras kepada anak didik.Tulisan ini ingin mendudukkan masalah secara proporsional karena ada kesan seorang guru sebagai pelaku criminal.
Kekerasan-kata ini terlalu berlebihan-yang dilakukan oleh guru terhadap siswa memang tidak dibenarkan apapun alasannya.Apalagi jika hal itu berwujud kekerasan fisik dengan cara menempeleng,menendang anak,karena sudah di luar batas kewajaran hukuman.Semua yakin hampir semua guru pernah melakukan kepada anak meski dengan skala yang sangat kecil.Tetapi jika kita telaah lebih jauh dan secara mendalam,maka tindakan guru menghukum anak dalam rangka proses pendidikan dan pembelajaran adalah hal yang lumrah.Artinya,fase perkembangan psikologi anak dalam mencari jati dirinya terkadang melenceng jauh dari kaidah tugas perkembangan anak.
Untuk itulah diperlukan sikap dan ketegasan dari seorang guru,meskipun terkadang harus keras,agar anak tetap berjalan dalam rel yang benar.
Ada yang berubah dalam perilaku anak zaman kini,jika dibandingkan dengan perilaku anak sekolah pada zaman dahulu.
Kemajuan dunia informasi dan komunikasi ikut memberikan andil bagi perubahan perilaku tersebut.OK!.Zaman memang berubah,tetapi aturan nilai dan sistem tata krama anak harus tetap.Jangan atas nama melindungi hak anak,lalu membiarkan anak seenaknya sendiri melanggar aturan dan tata karma.Dimensi hak anak tidak bisa dipakai untuk melihat dimensi masa depan anak.
Kenakalan anak sebenarnya adalah hal yang biasa terjadi.Tidak ada hal yang aneh.Hanya saja manakala kondisi masyarakat berubah,maka terjadi pula perubahan aspek tingkah laku anak yang berujung pada tindakan-tindakan yang melebihi batas dan norma,atas nama kekebasan.
Dari kaca mata seorang pendidik ada hal yang harus dikritisi dari tingkah laku anak agar mereka tidak terjerumus menjadi anak yang ugal-ugalan,tanpa aturan.Sementara dari kaca mata anak didik,apa yang mereka lakukan sebagai sebuah kewajaran,maka yang terjadi seolah posisi guru dengan murid berada di dua kutub yang berbeda dan saling berhadapan vis a vis.Pendapat ini harus diluruskan.Seorang pendidik memiliki tanggung jawab dalam rangka membentuk watak dan kepribadian anak agar menjadi lebih baik.Artinya ketika seorang pendidik memberikan sebuah hukuman kepada anak,maka semua itu tetap dalam batas dan bertujuan untuk mendidik.
Kekerasan dalam dunia pendidikan,tidak sama dengan kekerasan dalam dunia jalanan.Kekerasan dalam dunia pendidikan adalah dalam rangka mendidik dan mengembalikan karakter anak agar lebih baik.Bukan untuk mendominasi.Sementara kekerasan di jalanan adalah semata untuk menaklukan salah satu fihak agar bisa dikuasai.Kekerasan guru terhadap murid,bukan sebagai bentuk premanisme/bullying yang bertujuan menguasai anak agar patuh kepada guru.Mendidik memang mengharuskan seorang guru menggunakan semua instrumen agar anak menjadi baik.
Pokok permasalahan kekerasan guru atas anak didiknya sebenarnya tidak berjalannya keinginan dan cita-cita ideal seorang pendidik yang diterapkan kepada peserta didik.Guru tidak menghendaki adanya pembiaran atas ketidakbenaran anak.Membiarkan anak tidak mengerjakan tugas akan menjadikan anak terbiasa abai untuk hal-hal lain.Membiarkan anak bertingkah laku menyimpang akan menjadikan anak didik tidak memahami batas antara yang patut dengan yang tidak.Apa jadinya jika seorang guru melakukan pembiaran terhadap penyimpangan anak?.Toleransi bukan untuk hal-hal negatif.Salahkan jika seorang guru sampai pada titik nadir habisnya kesabaran dalam menghadapi anak didik yang berperilaku menyimpang itu?.
Menghukum dan mendidik
Anak usia sekolah,apapun tingkatannya berada dalam fase imitasi.Mereka akan meniru setiap hal yang terjadi dalam lingkungannya.Kesalahan penanganan pada fase ini akan berakibat buruk kepada anak dikemudian hari.Repotnya yang ditiru oleh mereka bukan hal-hal yang baik,tetapi hal-hal buruk.Lingkungan perokok akan menjadikan anak belajar merokok.Mereka merokok karena tidak mau dianggap bukan bagian dari komunitasnya.Mereka bangga jika merasa diri sebagai jagoan.Hal-hal buruk yang ditiru anak jika tidak diperhatikan oleh guru pasti akan dianggap sebagai hal yang biasa oleh anak.Orang tua zaman sekarang sudah kalah dominasi sehingga mereka malahmembiarkannya anaknya berperilaku menyimpang aturan.Lalu mereka menuntut guru agar membenahi watak dan perilaku anak.
Guru dalam membenahi tingkah laku anak terkadang terasa keras.Dan itulah muara permasalahan atas apa yang sekarang ini disebut sebagai kekerasan terhadap anak.Jika lingkungan di luar sekolah sana ikut bertanggung jawab dan mengenali secara dini,maka penyimpangan itu tidak akan dibawa ke sekolah.Masyarakat hanya bisa menuntut guru bersifat bak malaikat,sementara tanggung jawab mereka terhadap anak diabaikan.Jika guru bertindak lebih,mereka akan ramai-ramai”mengeroyok” sang guru.Masyarakat hanya bisa menuntut hak tetapi melupakan kewajiban.
Ibarat lingkaran setan,kasus yang menyeret guru kepada tindakan kekerasan kepada anak umumnya terjadi pada anak dengan tingkat kemampuan akademik yang rendah/kurang,berasal dari sekolah yang tidak bermutu serta memiliki latar belakang keluarga yang tidak peduli terhadap tumbuh kembangnya anak.Anak yang kurang berprestasi umumnya suka membuat masalah untuk menarik perhatian fihak lain.Sekolah-sekolah kurang maju umumnya mentolelir segala bentuk kenakalan anak,semisal merokok,tidak mengerjakan tugas,membolos sekolah.
Karena mereka tidak memiliki kewibawaan terhadap anak didik sendiri.Pendek kata jauh dari sikap disiplin.Orang tua mereka juga tidak memperdulikan proses belajar sang anak.
Tengoklah anak yang bersekolah di sekolah favorit,dimana hukum dan aturan sekolah ditegakkan secara jelas dan tegas.Mereka jarang membuat masalah karena sadar akan konsekwensi yang akan diterima dari guru dan sekolah jika mereka berperilaku menyimpang di sekolah.
Sekolah yang bermutu akan mengontrol dengan ketat anak didiknya.Orang tua juga peduli terhadap perkembangan anak di sekolah.Maka kejadian kekerasan guru kepada murid tidak terjadi pada sekolah tipe ini.Dalam sekolah yang tertib,anak ibarat sekawanan domba yang menuruti apa kemauan sang penggembala.
Mendidik adalah proses tranformasi yang membawa anak ke arah perubahan.Perubahan itu tentunya perubahan yang baik,positif dan berkesinambungan.Tranformasi itu memberikan kepada anak sebuah sistem nilai yang baik dan diterima oleh semua fihak.Nilai-nilai yang menurut anak baik,belum tentu baik pula menurut kaca mata orang dewasa.Disinilah tugas guru dimulai.Tugas ini sangat rigid karena menempatkan guru sebagai seorang Resi atau Pandhito.
Bagaimana agar guru terbebas dari tuduhan melakukan tindak kekerasan atas apa yang mereka lakukan dalam mendidik?.Tidak usah kawatir terhadap apa yang mereka lakukan.Karena semua sebagai wujud tanggung jawab dalam membentuk karakter anak.Guru bukan melakukan tindak kekerasan,tetapi menanamkan sikap kedisiplinan.Jika ada sementara kalangan yang mengganggap menerapkan kedisiplinan sebagai wujud lain dari kekerasan kepada anak didik,anggaplah sebagai hal biasa.Era ini semua hal bisa dipandang baik atau buruk tergantung dari sudut mana melihatnya.Mereka yang berteriak-teriak itulah yang sejatinya hendak menjerumuskan anak.
Saya memberikan apresiasi atas pola pendidikan di sekolah-sekolah yang dikelola oleh Ordo-Ordo Katolik.Kedisiplinan yang mereka terapkan terhadap siswa sangat keras tetapi tidak mendapat reaksi negatif dari orang tua karena semua dipandang sebagai peng-ejawantah –an dari sikap”kasih”dalam bentuk yang lain.Sekolah ini keras dalam menegakkan disiplin karena tanpa kedisiplinan mustahil akan lahir keberhasilan.Sekali lagi kedisiplinan guru kepada anak,bukan kekerasan guru terhadap anak.

Guru baru itu bernama televisi

Guru baru itu bernama televisi
Oleh Rumongso
Kalangan pendidik paling merasakan perubahan perilaku anak sebagai akibat siaran televisi yang menyasar ke segala sendi kehidupan anak.Kehadiran media televisi di satu sisi memberikan harapan bagi pendidikan/edukasi dan pencerahan/enlighment masyarakat, namun di sisi lain menghadirkan rasa was-was.Dahulu masyarakat mengharapkan televisi sebagai alternatif hiburan.Dan ia adalah simbol modernisasi.Dengan membawa fungsi pendidikan dan pencerahan media televisi akan membawa perubahan pola fikir,sikap dan kedewasaan.
Di lembaga pendidikan dalam berbagai tingkatan terasa sekali adanya pergeseran perilaku anak yang mencontek apa yang mereka lihat dan dengar dari televisi.Anak pada fase imitasi dengan cepat meniru tanpa ada satupun hal yang lewat.Artinya materi siaran televisi yang tanpa sensor ditelan bulat-bulat mereka.Konsumsi siaran tanpa terkendali menjadikan televisi menjadi biang keresahan pendidik.
Televisi menjadikan anak jarang bersosialisasi.Hal inilah yang membuat mereka kehilangan kreatifitas,sikap sosial yang empati,kegembiraan,dan kepolosan khas anak-anak.Televisi menjadi sahabat dan teman bermain.Semenjak bangun pagi hingga menjelang tidur praktis televisi yang menemani.
Penulis kaget mendengar anak SD berbicara tentang istilah “belah duren”,mengacu pada judul lagu yang dinyanyikan artis berpenampilan seronok,Julia Perez.Kosa kata”belah duren”adalah anekdotal orang dewasa.Ketika ditanya apa arti belah duren,ia menjawab sebagai kegiatan pengantin baru untuk membuahi pasangannya.Alamak!.
Pada kesempatan lain,seorang murid dengan lancar bercerita tentang gossip artis yang sedang kawin cerai,si A berpacaran dengan si D,si B sedang berselingkuh dengan artis C dan seterusnya.Belum lagi anak-anak sangat hafal dengan lagu-lagu milik anak band di luar kepala.
Apakah ada yang salah dengan anak kita?.Tidak.Mereka mempelajari apa saja yang ada di hadapannya, mencerna yang terhidang di depan mata.Jadi siapa yang salah?.Kita orang dewasalah pelakunya.Lupa memberikan benteng berupa proteksi kepada mereka atas beberapa tontonan yang tak layak/parental control.Orang tua bisa berperan melindungi anak.
Televisi menjelma menjadi guru yang memberikan pendidikan,membantu membentuk emosi mereka.Ia mengajarkan apa saja.Menjadi penyampai pesan/massanger..Contohnya,pelaku mutilasi di Kutabumi Tangerang,melakukan tindakan setelah melihat tayangan berita kriminal di TV. Contoh lain saat tayangan gulat di salah satu stasiun televisi yang berakibat banyak anak TK/SD meniru dan mempraktekan adegan dengan teman.
Televisi adalah produk post modern yang memiliki sifat banal.Banalitas televisi itu,menurut Bouldriard karena sifat media itu yang jauh dari santun dan menyasar hingga relung-relung kehidupan tanpa ada kekuatan yang mampu menghadang.Gambar-gambar yang hadir menambah daya gedor tayangan.
Televisi bukan anak haram peradaban.Kita alpa membuat penyaring mana yang layak untuk ditonton oleh anak dan mana yang tidak.Ketika banalitas itu telah melahirkan akibat negatif,kita baru bergegas mencari sekoci penyelamatan.Sangat khas dengan alur berfikir orang Indonesia.
Dalam artikel Mulyanto Utomo,lewat tokoh alter ego bernama Mas Wartonegoro membahas tentang perlunya aliansi rakyat anti sinetron.(Solopos,16/2/2009).Sebenarnya tidak hanya aliansi rakyat anti sinetron.Harus ada aliansi rakyat anti tayangan infotaiment,aliansi rakyat anti lawakan slaptick,dan aliansi rakyat anti tayangan berita kriminal.
Banyak materi siaran selain sinetron,misalnya gossip artis dan variety show yang menghina nalar dan menumpulkan akal sehat.Perlawanan rakyat dengan sikap anti terhadap tayangan televisi yang tidak bermutu adalah sikap paling moderat.Kita kalah jika melawan dengan membentuk siaran tandingan (counter culture) sebab di belakang stasiun televisi ada kekuatan pemodal yang luar biasa.Lembaga resmi negara,Komisi Penyiaran Indonesia,tidak mampu bergerak menghadapi pemodal dan hanya mengeluarkan keputusan yang menjadi macan kertas.
Hal yang paling banyak disoroti selama ini memang sebatas sinetron.Wajah sinetron bukan wajah kita.Ia adalah wajah dari dunia lain yang asing dengan dunia kita.Kita tidak bisa bercermin kepada sinetron.Karena jika kita bercermin maka yang hadir bukan wajah kita.Tapi wajah dunia antah berantah.Mereka hadir menjual mimpi.Menyimpulkan sinetron sebagai sebuah realitas kehidupan maka akan membuat pemirsa tersesat. Sinetron anak,justru jauh dari penggambaran karakter anak yang sesungguhnya.Sinetron religi menampilkan klenik.Tayangan sinetron selalu meniru tanpa ada hal baru.Serba latah.
Demikian juga dengan sajian yang lain acara lawak.Tak akan lahir lagi acara lawak yang cerdas jauh dari slaptick.Padahal kita menginginkan acara itu sebagai katarsis kehidupan.Yang mampu membuat tersenyum menertawakan diri karena ada parodi kehidupan.Bukan lawak yang menghina diri dan kehidupan.Lawak model ini sangat jauh dari sikap cerdas yang harus lahir dari seorang pelawak.
Stasiun televisi sendiri terjebak dengan aturan yang dibuat oleh pemerintah (dahulu diwakili oleh Departemen Penerangan).Keharusan untuk menayangkan meteri siaran lokal yang lebih banyak dari pada materi untuk siaran impor membuat pihak pengelola tergagap.Daya dukung industri yang belum siap membuat praktisi televisi membuat acara asal-asalan agar kuota siaran terpenuhi.
Pada awal hadirnya televisi (swasta) banyak acara (impor) dengan nilai pendidikan.Mini seri Mc Gyver,The A Team,Quontum Leap,Tour of Duty,Mission Immposible meski unsur dominan hiburan,tetap menampilkan kecerdasan dan merangsang pemirsa untuk tahu.Hanya karena memenuhi anjuran, mereka menangalkan tayangan itu dan menayangkan acara yang tidak bermutu.Yang ada sekarang sinetron tanpa konsep,amatir dan kejar tayang.
Salahkah stasiun televisi?.Tidak.Pengelola ibarat pemilik toko swalayan yang menyediakan barang dagangan.Konsumen tinggal memilih apa saja yang hendak dibeli.Stasiun tidak pernah memaksa pemirsa untuk melihat acaranya.Eksekusi akhir tetap ditangan konsumen.Dari sinilah sebenarnya awal bagi pemirsa televisi untuk memberi hukuman kepada stasiun televisi.
Kita perlunya bersikap cerdas dan kritis dalam mengkonsumsi dan memilih materi.Banyak dari kita yang berapologi dengan menimpakan kesalahan kepada pengelola stasiun televisi.
Hindari sikap ekstrim
Banyak kalangan mengkampanyekan boikot televisi.Tidak perlu sampai bersikap ekstrim.Dari pengamatan masih ada 10%-20% acara bermutu dan bermanfaat.Ada juga sinetron yang bagus dan layak tonton yang dikerjakan dengan penuh idealisme.Hal yang bisa kita lakukan untuk melindungi anak kita dari pengaruh buruk siaran televisi adalah dengan mencari saluran televisi yang cocok untuk usia anak dan mencerdaskan.Meski tidak banyak stasiun yeng memberikan tontonan cerdas.Di antara yang tidak banyak itulah kita bisa dengan leluasa memilih acara bermutu di tengah kepungan acara yang tidak bermutu.
Memindahkan saluran televisi untuk melindungi anak lebih baik dari pada mematikan televisi.Karena bagaimanapun anak tetap memerlukan sarana hiburan.Kontrol orang tua sangat diperlukan.Mendampingi dan menjelaskan kepada anak tentang sebuah tontonan adalah pekerjaan langka dalam kultur pengasuhan anak kita.Yang banyak dari kita adalah langsung menyalahkan.
Banyak orang tua mengabaikan keberadaan anak dengan menyaksikan sinetron saat jam belajar anak.Ketika orang tua terpaku di depan televisi,maka anak juga akan mengikuti.Orang tua nyinyir menyalahkan anak.Favorit orang tua terhadap siaran televisi hanya seputar sinetron,gossip artis,berita kriminal dan lawakan menjemukan.Anakpun akan idem ditto.
Kampanye kepada orang tua bisa dimulai dari penyadaran akan pentingnya melindungi anak dari tayangan tidak bermutu dan tidak mendidik.Membangun kesadaran itulah inti dari gerakan rakyat anti sinetron.Tanpa kesadaran tidak mungkin gerakan anti hal-hal buruk di televisi akan membawa hasil..Melarang anak jauh dari televisi sementara membiarkan orang tua menyantap hidangan di televisi adalah tidak bijak.
Seorang pendidik menghadapi dilema.Di sekolah anak dilarang agar tidak melihat tayangan yang tidak mendidik.Sementara di rumah orang tua tidak seia sekata dengan guru.Sinergi menjadi hal mutlak jika kita tidak ingin kehilangan generasi yang cerdas,polos,kreatif,dan selalu gembira.Ganti saluran, cari siaran yang bermutu demi melindungi anak kita.Tak usah mematikan televisi.

Guru harus membaca agar berwawasan

Guru harus membaca agar berwawasan
Oleh:Rumongso
Bisa dikatakan bahwa rata-rata masyarakat Indonesia masih sangat rendah dalam kesadaran untuk membaca.Hal ini bisa dilihat dari rata-rata buku yang laku terjual tiap judulnya. Kategori best sellers hanya menembus angka di bawah 100.000 eksemplar.Bandingkanlah dengan negara-negara lain yang masyarakatnya sudah memiliki kesadaran tinggi tentang pentingnya membaca dan menjadikan buku sebagai salah satu kebutuhan dasar,buku best sellers sampai angka satu juta eksemplar lebih.Rendahnya buku yang terjual bisa dirujuk dari masih tingginya harga buku karena pemerintah mengenakan pajak pembelian untuk kertas,dan pajak penjualan di toko buku.Hingga bermuara pada tingginya harga buku yang berujung pada lemahnya daya beli masyarakat.Jadi ibarat lingkaran setan.Pemerintah mengkampanyekan gerakan sadar membaca (sadar membeli buku),tetapi pemerintah juga enggan untuk kehilangan pendapatan dari pajak.Jauh panggang dari api.Ini berbeda dengan negara ASEAN yang lain semisal Malaysia,Singapura dan Thailand yang sudah membebaskan pajak bagi produk berbasis kertas dari hulu hingga hilir.
Bagaimana dengan minat baca guru?.Berapa tingkat konsumsi guru per kapita per tahun terhadap barang bernama buku?.Jawabannya idem ditto dengan masyarakat lain.Masih sangat rendah.Jangankan untuk menyisihkan pendapatan untuk membeli buku,dikasih gratis saja jarang di sentuh,apalagi dibuka dan difahami isinya untuk menambah wawasan.Dengan tingkat kesejahteraan yang sudah memadai,terutama guru PNS,rasanya aneh jika mereka enggan menyisihkan gaji dan pendapatan mereka untuk membeli buku.Jika dirujuk ke pertanyaan lain,seberapa banyak guru yang sudi dan berkenan untuk berkunjung ke perpustakaan umum?.Ah,nanti dulu..Rata-rata mereka tidak tahu akan keberadaan perpustakaan.Sebagai sebuah gambaran,waktu liburan penulis selalu berkunjung ke perpustakaan di Monumen Pers Surakarta selama itu pula penulis tidak bertemu dengan mahkluk bernama guru.Yang datang adalah mahasiswa yang tengah skripsi dan pensiunan yang mengisi waktu dengan membaca.Mungkin hal serupa juga terjadi di perpustakaan yang lain.
Guru bukannya tidak memiliki waktu untuk membaca,tetapi miskin kemauan untuk meningkatkan kemampuan dan wasasan lewat bacaan..
Kejadian serupa juga terjadi di lingkungan sekolah.Koran jarang dibaca secara menyeluruh.Hanya berita yang enteng-enteng saja.Jarang ada guru yang membaca tulisan berwujud artikel yang ditulis oleh para pakar dibidangnya.Padahal dari tulisan itu kita sejatinya berguru langsung dengan para empu.Juga sangat tragis sebagaimana dialami oleh penulis yang berlangganan koran nasional.Sejawat berkomentar bahwa koran terlalu berat dengan berita-berita politik,ekonomi dan lain-lain.Padahal masih banyak rubrik yang sangat membumi,misalnya humaniora,dikdaktika,gender,ilmu pengetahuan dan tehnologi dan hal-hal lain yang bisa menambah wawasan keilmuan tanpa harus unjuk diri.Meski penerbit koran yang bersangkutan sudah memberikan potongan harga sangat banyak untuk pelanggan dari kalangan guru,tapi minat guru sangat kecil.
Kejadian ini tidak bisa terus berlangsung.Gerakan penyadaran kepada guru agar gemar membaca harus dimulai dari sekarang.Membaca tidak harus berpusat pada buku-buku setebal bantal.Atau buku-buku dengan bahasa langit yang tidak dimengerti guru.Tetapi dimulai dengan membaca buku yang berkorelasi dengan dunia pendidikan, ,psikologi anak,psikologi pendidikan dan lain-lain.Mana kala sudah timbul minat baca pada buku yang memiliki relevansi dengan dunia tugas dan dunia kerja maka minat harus diperluas untuk buku-buku yang lain.
Karena kurangnya membaca,ada guru yang mengatakan bahwa sepeda motor di Indonesia diimpor dalam keadaan built up dari Jepang.Syahdan ada juga teman guru yang mengatakan bahwa lembaga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Cuma ada di Jakarta dan tidak memiliki perwakilan atau kantor wilayah/daerah.Hal ini tidak akan terjadi jika ia memiliki referensi luas sebagai akibat bacaan yang ia cerna sehari-hari.Penulis hanya bisa tersenyum kecut karena penjelasan penulis tidak bisa diterima.Ini kejadian sebenarnya.
Maka sangat enak dan tidak berlebihan jika seorang guru memiliki wawasan luas.Minat baca tidak hanya terbatas pada buku-buku pelajaran sekolah.tetapi lebih dari pada itu,Misalnya dengan minat terhadap buku filsafat,novel,politik,teknologi dan lain-lain.Ia bisa menjelaskan kepada anak hal-hal menarik dalam hal pengetahuan umum.Tidak berlebihan jika seorang guru menjelaskan kepada anak didik mengapa Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia jatuh dan apa akibatnya terhadap para pemilik modal.Juga menjelaskan mengapa krisis pembiayaan perumahan di Amerika Serikat (Subprime Mortage) menyebabkan perekonomian Amerika Serikat ambruk.Semua hanya bisa diperoleh jika guru gemar membaca.Pasti anak-anak akan terkagum-kagum memiliki seorang guru yang mumpuni.
Berbahagialah guru-guru di kota Surakarta.karena kota Surakarta sangat mendukung proses pengembangan diri seorang guru.
Di Jakarta rata-rata koran sampai ke pelanggan pukul 07.00,sementara di kota Surakarta pukul 06.00 sudah bisa membaca koran baik nasional maupun koran lokal.Pemerintah Kota Surakarta juga menyediakan fasilitas internet lengkap dan gratis karena pemerintah kota menyediakan beberapa titik hot spot di tempat-tempat strategis agar bisa nge-net sampai puas tanpa berfikir untuk membayar.Kalau belum memiliki laptop bisa ke warnet yang hampir tiap pojok jalan ada dan memiliki koneksi yang cepat dan harga yang sangat murah jika dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh.
Dengan melek internet seolah dunia ada dihadapan kita,karena informasi selalu up to date.Lagi-lagi jarang ada guru yang berminat untuk mencari informasi lewat internet.
Maka tidak mengherankan jika kita bertanya seberapa banyak guru yang memiliki account email pribadi untuk berkorespondensi,blog pribadi untuk memwartakan diri dan hal-hal lain seputar dunia internet.Mereka akan menggelengkan kepalanya.Padahal anak didiknya sudah lari kencang meninggalkan para guru dalam hal penguasaan teknologi informasi.
Peribahasa Inggris,who you are what you read,siapa anda apa yang anda baca.Ada guru suka membaca koran kriminal yang mengumbar berita porno dan foto seronok,koran metafisika dan tabloid gossip artis.Bisa dbayangkan apa dan bagaimana kepribadian mereka terbentuk dan cara berfikir mereka terhadap sebuah hal,padangan mereka terhadap masalah serius seputar pendidikan.Maka jangan heran jika akibat yang timbul adalah,bagi yang suka baca koran kriminal mereka juga akan bertindak kriminal dengan memanipulasi nilai anak,membocorkan jawaban tes atau ulangan umum kepada anak.Yang gemar membaca bacaan metafisika akan mengamalkan bacaannya dengan menyuruh anak ke dukun menjelang ujian akhir,bukan menambah materi untuk persiapan ujian.Bagi penggemar gossip artis maka waktunya akan dipakai habis untuk ngrumpi hal-hal yang remeh temeh jauh dari dunia pendidikan.
Pendidik sekaligus esais terkemuka F.X. Triyashadi Prihantoro,Guru SMA PL Santo Yosep Surakarta di sebuah koran nasional mengajak guru agar gemar menulis untuk meningkatkan potensi diri,diibaratkan berteriak-teriak di padang pasir nan luas.Tidak akan ada yang menjawab.Ajakan itu sangat sulit terwujud karena guru tidak memiliki referensi yang banyak yang cukup.Referensi itu hanya diperoleh dengan membaca.Melihat kenyataan di lapangan berupa masih miminmya minat baca guru maka kemampuan menulis tidak akan bisa timbul dan terasah.Padahal dengan menulis sangat bermanfaat dalam menunjang karier guru,terutama guru negeri.Dalam program sertifikasi guru ada item penilaian yaitu tentang publikasi ilmiah yang memiliki skor cukup tinggi.Jika ini terwujud maka wajah pendidikan nasional kita akan semakin cerah.Sebab guru memiliki visi pribadi yang disebarkan kepada khalayak umum lewat tulisan di media massa.Visi pribadi itu akan dicerna oleh pembaca dan akan mempengaruhi fikiran dan pemahaman,sebab dengan membaca tulisan kita,diibaratkan bahwa kita mencuci otak para pembaca.
Gemar membaca mengharuskan kita untuk berjuang melawan kehendak dalam mengubah perilaku konsumtif ke perilaku produktif.Bagi guru yang berfikiran dangkal akan sangat sayang jika uang dipakai untuk membeli buku,koran atau majalah.Mereka lebih senang jika uang dipakai untuk membeli makanan,membeli pulsa atau rokok dengan berbagai dalih pembenar.Tetapi bagi yang memiliki kesadaran tinggi bahwa membeli buku pada hakekatnya sebuah investasi ilmu,maka mereka tidak sayang untuk mengeluarkan uang guna membeli buku dan berlangganan koran.Namun seberapa banyak kalangan guru yang sudah memiliki tingkat kesadaran itu?.Hobi gemar membaca juga tidak harus keluar uang.Berkunjung ke perpustakaan umum bisa menjadi jalan keluar yang paling murah.Konsekwensinya adalah perpustakaan umum berani buka pada hari libur umum atau Minggu agar bisa dikunjungi guru.Bagi yang sudah berlangganan koran harian dan ingin menambah wawasan dengan membaca majalah bisa menjadi anggota klub penyewaan majalah yang bisa dijumpai dibanyak tempat.Cukup dengan membayar Rp 1.500,00 per majalah untuk 2 hari,kita bisa menyewa majalah yang harganya di atas Rp 40.000,00/eksemplar. Ribuan informasi bisa kita serap karena umumnya tempat penyewaan majalah sangat lengkap meliputi majalah berita,gaya hidup wanita dan laki-laki,anak-anak.Pendek kata membaca itu murah meriah.Mengapa tidak mulai mencoba dari sekarang?.